Sunday 28 September 2014

PENDIDIKAN PANCASILA

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
KEJAHATAN KORUPSI




                                                         

Disusun oleh:
Habibie Bagus Sambada, dkk

PEND. AKUNTANSI (B)
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kejahatan Korupsi”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila, Prodi Pendidikan Akuntansi, Fakultas Ekonomi UNY.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Yogyakarta, Maret 2013

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Korupsi bukan hal baru di Indonesia, sejak zaman VOC sampai bubarnya VOC. Korupsi mengakibatkan sebagian rakyat Indonesia menderita dan hidup dalam kemiskinan, penanggulangan korupsi menjadi tugas bersama mengingat korupsi berkembang begitu pesat bagaikan jamur hingga merambah ke instansi terbawah sekalipun.
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi diatur dalam UU no. 31 tahun 1999, UU no. 20 tahun 2001 dan bentuk pelaksanaan dari pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 yaitu dibentuknya UU no. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disingkat KPK.
Korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu budaya yang sulit dirubah karena melekat pada diri manusia itu sendiri yang merupakan moralitas atau akhlak. Untuk merubah itu semua perlu dicari sebab-sebab dan bagaimana untuk mengatasinya, penyebab utama adanya korupsi adalah berasal dari masing-masing individu dan untuk mengatasinya harus dimulai dari penyusunan akhlak yang baik dalam diri manusia itu sendiri selain upaya-upaya lain yang bersifat eksternal berupa pencegahan-pencegahan melalui penegakan hukum itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis dalam kesempatan ini akan membahas mengenai korupsi dan strategi pemberantasannya.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan korupsi?
2.      Bagaimanakah kondisi yang mendukung munculnya korupsi?
3.      Apakah dampak negatif dari korupsi?
4.      Bagaimana contoh kasus korupsi?
5.      Bagaimana langkah-langkah pemberantasan korupsi?
  1. Tujuan
1.      Menjelaskan mengenai pengertian dari korupsi.
2.      Menjelaskan kondisi yang mendukung munculnya korupsi.
3.      Menjelaskan dampak negatif dari korupsi.
4.      Menjelaskan contoh kasus korupsi.
5.      Menjelaskan langkah-langkah pemberantasan korupsi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam arti luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan dalam prakteknya rentan terhadap adanya  korupsi. Beratnya korupsi berbeda-beda dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur tetapi tidak ada sama sekali.
B.     Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
1.      Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2.      Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3.      Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
4.      Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5.      Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6.      Lemahnya ketertiban hukum.
7.      Lemahnya profesi hukum.
8.      Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
9.      Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
10.  Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
11.  Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
C.    Dampak negatif dari Korupsi
1.      Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2.      Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
3.      Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
D.    Contoh Fakta Kasus Korupsi
Gayus Tambunan adalah mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia. Pada tanggal 19 Januari 2011, Gayus Tambunan telah dinyatakan bersalah atas kasus korupsi dan suap mafia pajak oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta.
Terdakwa Angelina Sondakh menjalani sidang vonis yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (10/1/2013). Terbukti menerima uang Rp 2,5 miliar dan 1,2 juta dollar AS, Angelina Sondakh hanya dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda 250 juta rupiah. Putusan Majelis Hakim ini sungguh telah mengkorupsi rasa keadilan rakyat. Hakim menilai bahwa uang yang diterima Angie tak dapat dipastikan berapa jumlah yang telah Angie nikmati, sehingga Angie tak wajib mengembalikannya pada negara. Ini jelas penilaian yang jauh dari akal sehat apalagi nurani kebenaran. Padahal, pasal 18 UU Tipikor mengatur tentang pengembalian kepada negara atas uang yang dikorupsi. Lantas kenapa Majelis Hakim menilai pasal itu tak bisa diterapkan kepada Angie. Ini menandakan masih buruknya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebuah langkah mundur, dimana hukum belum bisa mencerminkan rasa keadilan rakyat, malah melukai nurani keadilan masyarakat Indonesia. Bagaimana bisa sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan terima pemberian uang, tapi tidak diminta untuk mengembalikan uangnya pada negara, bahkan hukumannya tak lebih dari hukuman maling ayam yang vonis ancamannya 5 tahun penjara. Maling ayam saja ancaman vonisnya 5 tahun penjara. Ini korupsi Rp 2,5 miliar dan 1,2 juta dollar AS, hanya 4,5 tahun. mau efek jera, koruptor harus dimiskinkan, sita hartanya seperti dilakukan di hampir semua negara lain. Bahkan jika sampai taraf merugikan rakyat secara masif, koruptor bisa dihukum matiKami dukung KPK untuk terus berantas korupsi. Yang penting jangan tebang pilih dan tanpa pandang bulu. Korupsi telah memiskinkan rakyat Indonesia
E.     Langkah-Langkah Pemberantasan Korupsi
Dalam menanggapi buruknya dampak dari korupsi terhadap negara-negara sebagai bentuk masalah internasional, PBB mengeluarkan konvensi anti korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) pada tahun 2003 di Merida, Meksiko sebagai landasan hukum internasional dalam melawankorupsi. Dalam alinea ke empat Mukadimah Konvensi anti korupsi menyatakan : Meyakini bahwa korupsi bukan lagi masalah lokal, tetapi merupakan fenomena transnasional yang membawa dampak bagi seluruh lapisan masyarakat dan bagi ekonomi, menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi sebagai hal yang penting.
Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.
Untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Presiden sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.
Dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.
Konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum yang tidak hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.
Untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat dan pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan.
Sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.
Pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.
Pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut mendesak untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.
Semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.
Akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada intinya, korupsi itu adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan resmi untuk menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan orang lain. KPK memandang bahwa korupsi tidak bisa digolongkan sebagai kejahatan biasa akan tetapi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa.Korupsi dapat disebabkan karena lemahnya ketertiban hukum, lemahnya profesi hukum, kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa dan pasti karena ada kesempatan untuk melalukan dan lemahnya iman dalam diri kita masing – masing. Korupsi memiliki dampak negatif dalam demokrasi, ekonomi dan kesejahteraan umum Negara. Dicontohkan seperti Gayus Tambunan dan Angelina Sondakh yang menggunakan harta rakyat hingga milyaran untuk dirinya sendiri yang tentunya saat berdampak buruk pada negara ini.


Daftar Pustaka
Anonim.2013.kesimpulan dan saran.

Anonim.2013.Pendahuluan. http://eprints.undip.ac.id/19614/3/bab_1.pdf. Diakses
            pada tanggal 16 Maret 2013






No comments:

Post a Comment