MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PENILAIAN ASSET DALAM AKUNTANSI
EKONOMI SYARI’AH
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen
pengampu Syukri Fathudin
Disusun
oleh:
Habibie
Bagus Sambada ( 12803244018 )
PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini ada suatu peningkatan kepentingan
terhadap kajian bidang akuntansi menuju akuntansi dalam perspektif Islami atau
akuntansi syari’ah. Salah satu aspek yang mendorongnya adalah dengan munculnya
sistem perbankan syari’ah. Di pihak lain, aspek-aspek akuntansi konvensional
tidak dapat diterapkan pada lembaga yang menggunakan prinsip-prinsip Islam,
baik dari implikasi akuntansi maupun akibat ekonomi. Oleh karena itu, perlu
adanya standar akuntansi yang cocok bagi bank syari’ah. Hal ini juga didorong
oleh kebutuhan akan rasionalitas kerangka konseptual pelaporan keuangan bank
syari'ah.
Beberapa isu lain yang mendorong munculnya akuntansi
syari’ah adalah masalah harmonisasi standar akuntansi internasional di
negara-negara Islam, usulan pemformatan laporan badan usaha Islami dan kajian
ulang filsafat tentang konstruksi etika dalam pengetahuan akuntansi serta
penggunaan syari’ah sebagai petunjuk dalam pengembangan teori akuntansi sampai
pada masalah penilaian (aset) dalam akuntansi.
Suatu
kajian ulang mengenai literatur akuntansi syari’ah menyoroti beberapa kelemahan
yang ada, diantaranya berkaitan dengan beberapa hal yang nampak dalam perbankan
syari’ah.1 Namun ini gagal untuk mengenal hambatan politik dan ekonomi yang ada
dalam pengembangan akuntansi syari’ah. Di samping itu mengabaikan pembahasan
tentang peranan akuntansi dari perspektif Islam baik pada tataran mikro maupun
makro. Selanjutnya, dan mungkin merupakan hal yang sangat penting, adalah bahwa
dalam pengembangan kerangka konseptual yang "koheren" untuk akuntansi
syari’ah merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, termasuk masalah penilaian
aset dalam akuntansi syari’ah. Oleh karena itu, artikel ini memberikan
argumentasi bahwa penyesuaian dan modifikasi akuntansi konvensional yang
didasarkan pada nilai-nilai Barat, yang tidak cocok dengan nilai Islam, perlu
dibangun kerangka konseptual akuntansi syari’ah jika akuntansi tersebut dapat
diterima sebagai suatu paradigma baru dalam bidang akuntansi. Berangkat dari
dasar pemikiran tersebut, maka tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk
menganalisis aspek-aspek yang tidak tepat dalam mekanisme penilaian aset dalam
akuntansi konvensional, kemudian dibangun mekanisme penilaian aset yang sesuai
dengan kerangka akuntansi syari’ah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
akuntansi syari’ah dan bagaimana aspek kekiniannya ?
2. Bagaimana
syari’ah sebagai paradigma akuntansi ?
3. Bagaimana
konsep penilaian asset dalam akuntansi syari’ah ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian akuntansi syari’ah dan aspek kekiniannya.
2. Mengetahui
syari’ah sebagai paradikma akuntansi.
3. Mengetahui
konsep-konsep penilaian asset akuntansi syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Akuntansi Syari’ah (Akuntansi
Islam)
Akutansi Islam atau Akutansi Syariah pada hakekatnya
adalah penggunaan akutansi dalam menjalankan syariah Islam. Shahata (Harahap,
1997:272) misalnya mendefinisikan Akutansi Islam sebagai berikut:“ Standar,
penjelasan dan prinsip akutansi yang menggambarkan semua hal, sehingga akutansi
Islam secara teoritis memiliki konsep, prinsip, dan tujuan Islam juga. Semua
ini secara serentak berjalan bersama bidang ekonomi, social, politik, idiologi,
etika, kehidupan, keadilan dan hukum Islam. Akutansi dan bidang lain itu adalah
satu paket dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain,.”
Akuntansi Islam dam konteks kekinian
diartikan sebagai akuntansi dalam perspektif Islam yang mampu menjawab
bagaimana seharusnya profil akuntansi Islam dalam situasi saat ini dimana
system ekonomi, politik, ideology, hukum dan etika masih didominasi system lain
yaitu system kapitalis yang dasar filosofinya berbeda bahkan bertolak belakang
dengan system nilai Islam.
Akutansi Islam terpaksa mengadopsi
berbagai jargon kapitalis tetapi secara pelan pelan tapi pasti dikonversi
dengan teknik dan prinsip nilai Islam sibisanya sesuai konteksnya.
Dalam konteks kekinian respons kita
terhadap ASE adalah menerima dan mendorongnya untuk diterapkan sehingga pada
suatu saat disadari keterbatasan akuntansi kapitalis ini dan pada akhirnya kita
menerapkan Akuntansi Islam secara Kaffah atau secara menyeluruh dan terpadu.
B.
Syari’ah
sebagai paradikma akuntansi
Akuntansi adalah suatu kejadian yang tidak hanya
statis. Akuntansi berkembang mengikuti pola evolusi masyarakat. Sebagaimana
yang pernah terjadi, yaitu berkembang dari penyatuan aspek agama menuju pada
upaya pemisahan agama dengan masalah ekonomi, maka akhirnya terjadi perubahan
dari agama menuju kepada ekonomi murni, dan akhirnya berkembang lagi dari
ekonomi murni menuju kepada sosio-ekonomi. Ada enam paradigma yang telah
bertarung dalam bidang ekonomi. Keenam paradigma itu adalah :
1. Paradigma
antropologi/deduktif,
2. Paradigma
kebenaran pendapatan/deductive,
3. Paradigma
agregat-pasar-perilaku,
4. Paradigma
keputusan-model,
5. Paradigma
individual-pengguna,
6. Paradigma
ekonomi/informasi
Dengan menggunakan teori filsafat dan
sosial, Burrell dan Morgan (1979), menjelaskan empat perbedaan paradigma secara
sosiologi dalam bidang akuntansi, keempat paradigma itu adalah: fungsionalis, interpretatif,
humanis radikal, dan strukturalis radikal (Burrell. dan Morgan, 1979).
Sementara, ahli lain melakukan klasifikasi ulang model akuntansi berdasarkan
pada suatu perspektif sistem, yaitu : model yang berorientasi pada data,
kegunaan keputusan, dan kategori sumber organisasional, dimana akuntansi
keuangan nampaknya sebagai data yang dikumpulkan dari suatu organisasi dan
mengubahnya menjadi laporan informasi tertentu yang sesuai dengan lingkungan.
Velayutham dan Rahman (1992) menggunakan matrik multidimensional dalam
mengklasifikasikan teori akuntansi, yaitu:
1. Tujuan
akuntansi (deskriptif/normatif)
2. Pendekatan
dalam formulasi teori (deduktif, induktif dan eklektif)
3. Asumsi-asumsi
dasar (ekonomi, sosiologi, etika, perilaku manusia, komunikasi)
4. Tingkat
pengembangan teori akuntansi
Masing-masing paradigma yang dijelaskan
di atas menentukan cara anggota memandang penelitian, praktek dan pendidikan akuntansi.
Tidak ada paradigma yang lebih unggul satu dibanding dengan yang lainnya.
Dengan kata lain, keberadaan paradigma tersebut didasarkan pada pengembangan
dan inteprestasi pemikiran manusia dalam mengkonstruksi pengetahuan akuntansi.
Berdasarkan definisi paradigma yang dikemukakan Kuhn (1970), paradigma baru
dapat dikembangkan yaitu paradigma akuntansi syari’ah yang dikembangkan
berdasarkan kepercayaan masyarakat Muslim (Arief, 1985). Secara nyata
dasar-dasar paradigma syar’ah dapat divisualisasikan pada bagan halaman
berikut:
Qias
Qur`an Hadist Fiqh Ijtihad
Ijma
Syari`ah
Tujuan
:
1. Menetapkan
keadilan social (al-`adl dan al-ihsan)
2. Merealisasikan
keuntungan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat (al-falah)
Etika/Moralitas
Iman
Takwa
Kebenaran
Ibadah
Kewajiban
Ikhtiyar
Hubungan
dengan Allah
Hubungan
dengan sesama Manusia
Berkah
Politik:
Musyawarah
Tanggungjawab
ganda
Ekonomi
:
Halal
Bebas
bunga
Zakat
Sosial
:
Maslahah
Amanah
Paradigma di atas menunjukkan bahwa syari’ah
diturunkan dari tiga sumber, yaitu: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Sumber-sumber
tersebut urut secara hirarkhi tidak dapat mendahului satu terhadap yang
lainnya. Sumber yang pertama adalah selalu Al-Qur’an, kemudian diikuti oleh Hadist,
kemudian Fiqh dan seterusnya. Tujuan utama syari’ah adalah mendidik setiap
manusia, memantapkan keadilan dan merealisasikan keuntungan bagi setiap manusia
di dunia maupun di akhirat (Kamali. 1989). Syari’ah mengatur setiap aspek
kehidupan umat Muslim, baik politik, ekonomi dan sosial dengan menjaga keyakinan,
kehidupan, aqal, dan kekayaan mereka (Abdala ti,1975). Hal yang serupa juga
dinyatakan oleh oleh Ibn Al-Qayim Al-Jawziyyah,bahwa basis syari’ah adalah
kebijakan dan kesejahteraan masyarakat di dunia ini dan di akhirat kelak.
Dengan kata lain, syari’ah adalah berkenaan dengan peningkatan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat dengan menetapkan fondasi dasar bagi moral, sosial,
politik dan filsafat ekonomi masyarakat tersebut.
C.
Konsep-konsep
penilaian asset akuntansi syari’ah
Kembali kepada latar belakang yang telah diuraikan
di atas, bahwa dengan berdasarkan konsep syari’ah dapat dihubungan dengan masalah
akuntansi. Syari’ah adalah mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik
ekonomi, politik, sosial dan filsafat moral. Dengan kata lain, syari’ah berhubungan
dengan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya dalam hal
akuntansi. Tidak seperti paradigma yang lain, yang nampaknya memfokuskan pada
peran khusus akuntansi dalam hal: kegunaan pengambilan keputusan;
informasi-ekonomi dan pelaporan pendapatan secara benar, paradigma syari’ah
mengenal semua perbedaan peran tersebut. Paradigma syari’ah akan memasukkan
konsep pertanggungjawaban dalam bidang akuntansi, yaitu dengan paradigma
antropologi/deduktif. Paradigma ini akan menggunakan dasar penilaian tunggal
dalam menentukan pendapatan. Pentingnya akuntan keuangan sebagai pihak yang
memberikan layanan kelengkapan informasi keuangan. Berdasarkan pada uraian
sebelumnya, paradigma syari’ah nampaknya menekankan antara the extreme holistic-atomistic
dan dimensi radikal-deskriptif 5 tentang teori sosiologi.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa paradigma
syari’ah dalam akuntansi akan mempertimbangkan berbagai paradigma dengan
menunjukkan adanya perbedaan ideologi akuntansi. Berdasarkan pijakan agama tersebut,
maka ada tiga dimensi yang saling berhubungan, yaitu:
1. Mencari
keridhoan Allah sebagai tujuan utama dalam menentukan keadilan sosio-ekonomi
2. Merealisasikan
keuntungan bagi masyarakat, yaitu dengan memenuhi kewajiban kepada masyarakat
3. Mengejar
kepentingan-pribadi, yaitu: memenuhi kebutuhan sendiri
Pemenuhan ketiga bagian bentuk aktivitas ini adalah
termasuk dalam ibadah. Dengan kata lain, akuntansi dapat dianggap sebagai suatu
aktivitas ibadah bagi seorang Muslim. Ketiga dimensi itu saling berhubungan
untuk memenuhi kewajiban kepada Tuhan, masyarakat dan hak individu, dengan
berdasarkan prinsip syari’ah yang dapat diamati. Tujuan akuntansi syari’ah akan
mencapai tujuan yang lebih luas tentang keadilan sosio-ekonomi (al-falah) dan
mengakui bentuk ibadah. Prinsip-prinsip ini menunjukkan pada baik aspek teknis
maupun kemanusiaan yang harus diturunkan dari syari’ah. Aspek teknis dalam akuntansi
syari’ah adalah menunjuk pada konstruk akuntansi yang berhubungan dengan
otoritas dan pelaksanaannya. Jelasnya masalah konstruk berhubungan dengan
pengukuran dan penyingkapan, prinsipprinsip sebagai berikut: zakat, bebas
bunga, transaksi bisnis yang dihalakan dalam hukum Islam, harus diyakini. Penyingkapan
konstruk akuntansi tersebut perlu menunjuk pada kewajiban lain apa yang
digariskan syari’ah sehubungan dengan upaya pemenuhan zakat, seperti: sadaqah.
Sedangkan konstruk akuntansi yang berhubungan dengan masalah otoritas dan
pelaksana, didasarkan pada prinsip-prinsip seperti: taqwa, kebenaran dan
pertanggungjawaban. Ini merupakan bentuk fondasi dasar yang mempengaruhi nilai-nilai
akuntan Muslim dan manajer yang juga
akan dapat diamati melalui aktivitasnya.
Oleh karena, perbedaan antara akuntansi konvensional
dengan akuntansi syari’ah itu tidak hanya pada batasan tujuannya saja namun
juga pada prinsip-prinsip dasarnya. Sebagai contoh, bahwa kerangka konseptual
pelaporan keuangan yang menggunakan paradigma syari’ah merupakan hal yang
sangat unik yang diperoleh dari hukum “Langit”, bukan sekedar hukum buatan
manusia, dan implikasinya adalah pada peran akuntan muslim yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Diilhami
dengan pandangan dunia tentang tauhid, tidak anti laba atau anti dunia, tetapi
suatu visi keberhasilan dan kegagalan yang mencakup pada dimensi waktu yang lebih
luas, yaitu dunia dan akhirat.
2. Pertanggungjawaban
– tidak hanya pada pimpinan tetapi bertanggungjawab kepada Tuhan, karena
manusia hanya sekedar hamba- Nya dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosio
ekonomi di dunia dan diakhirat.
3. Hubungan
– membutuhkan terciptanya hubungan baik antara pimpinan tetapi juga kepada
pengikut, dan juga hubungan dengan Tuhan dengan memenuhi semua kewajiban
keagamannya.
4. Motivasi
– memberikan pelayanan yang terbaik dalam aktivitas akuntansinya, seperti
amanah, ibadah, amal salih, yang kesemuanya ditujukan untuk mencapai kemenangan
(al-falah) di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa ada perbedaanantara
kerangka akuntansi konvensional dengan akuntansi syari’ah, baik dari aspek:
postulat, konsep dasar, prinsip, sampai pada teknik akuntansi. Hal ini tentunya
akan merembes sampai kepada mekanisme penilaian aset menurut dua sistem
akuntansi tersebut, yaitu: akuntansi konvensional dengan syari’ah. Oleh karena
itu, bagian ini akan menguraikan mengenai perbedaan penilaian aset menurut dua
sistem akuntansi tersebut. Ukuran besar-kecilnya suatu organisasi bisnis sangat
tergantung pada nilai assetnya. Dengan kata sederhana, bahwa asset perusahaan memiliki
nilai yang lebih tinggi pada akhir periode dibandingkan pada awal periode,
tanpa adanya tambahan modal dari pemilik. Hal ini akan menghasilkan keuntungan
sehingga dapat menambah nilai aset. Akan tetapi, penilaian aset saat ini
menghadapi beberapa masalah, kecuali jika situasinya amat simple, seperti jika
kita menilai aset tetap. Perhitungan current assets yang akan di-covert dalam
kas periode jangka pendek, yang seperti ini dapat dianggap sebagai persediaan yang
dapat diterima atau dapat dijual dan juga tidak dapat pose banyak masalah. Hal
seperti ini dapat ditunjukkan pada net realizable value-nya yang telah menjadi
konsensus para akuntan. Tetapi penilaian fixed asset, intangible asset atau
asset yang likely di-coverted menjadi cash over periode jangka panjang dari
time present serval masalah penilaian. Para akuntan memiliki berbagai metode
yang diusulkan, yang dapat dikategorikan menjadi tiga kategori:
1. Exchange
output values, current output prices, discounted future cash receipts or
service potential, current cash equivalents cash and liquidation values
2. Exchange
input values such as historical costs, current input cost and discounted future
costs
3. Standard
cost such as the lower of cost or market valuation
Penilaian asset dengan menggunakan discounted cash
flow adalah didasarkan pada konsep bahwa nilai asset adalah tergantung pada
kemampuannya menghasilkan cash-flow masa depan (future cash-flow). Akan tetapi,
ketika masa depan adalah panjang, maka di dalamnya mengandung ketidakpastian
dan pertambahan risiko, hal ini adalah penting untuk mengestimasikan present value
dari stream of cash flow masa depan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan
pendiskontoan future cash flows to the present. Pendiskontoan melibatkan tiga
asumsi dasar, yaitu:
1. the
amount of net cash flows expected to be generated in each of the future years
2. the
number of years of the remaining life of the assets
3. the
appropriate discount factor
Discount factor pada kondisi yang pasti biasanya
menggunakan tingkat bunga tetap yang diasumsikan sama dengan opportunity cost
modal yang blocked dalam asset. Tetapi variable tingkat bunga dapat juga
digunakan untuk setiap tahun. Jika diketahui, bahwa masa depan adalah tidak
tentu, nilai cash-flow yang diharapkan pada masa yang akan datang adalah
ditunjukkan dengan nilai probabilitas yang merupakan jumlah semua
probabilitasnya. Probabilitas ini ditunjukkan dengan sangat subyektif dan the
best guess dari manajemen. Dalam situasi yang tidak tentu ini, penulis
membatasi appropriate rate sebagai kesubyektifan tingkat yang dipersyaratkan
dari risiko yang sama atau target tingkat return.
Diantara ahli ekonomi Islam, Anas Zarqa menyarankan,
bahwa discounting dapat digunakan sebagai alat penilaian proyek dengan menggunakan
tingkat return yang diharapkan, sebagai discounting factor.
Sebagaimana yang akan penulis ungkapkan berikut,
bahwa inovasi yang diperkenalkan oleh Anas Zarqa dalam konsep ini tidak akan banyak
membantu untuk menyelesaikan kesulitan secara konseptual dan praktikal dengan
kegiatan ini. Time value of money (Nilai Waktu Uang) Teknik discounted cash flow
adalah didasarkan pada konsep time value of money. Konsep ini menyatakan bahwa
utilitas uang saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan utilitasnya untuk uang
yang sama pada waktu yang akan datang. Konsep ini juga yang sangat popular menjustifikasi
bunga atas modal yang dipinjam. Menurut konsep ini, jika nilai guna uang
pinjaman bagi yang dipinjamkan kepada peminjam adalah sama dengan nilai uang
pada masa yang akan datang, maka pemberi pinjaman akan menambahkan bunga,
sehingga nilai uang pada masa yang akan datang adalah sama dengan nilai uang
pada saat ini. Sekarang ini secara konseptual merupakan suatu asumsi yang
faulty. Hal ini adalah benar bahwa dalam beberapa kasus nilai guna uang saat
ini dapat lebih besar daripada nilai gunanya pada masa yang akan datang.
Penerapan teknik nilai waktu uang untuk menilai aset
dapat diperdebatkan, yaitu bahwa ada suatu keinginan manusia yang dipertanyakan
untuk mendapatkan sumber daya sesegera mungkin pada waktu sekarang dibandingkan
dengan masa yang akan datang. Oleh karena itu, aset yang menghasilkan cash-flow
untuk masa yang akan datang akan menjadi lebih dapat dinilai daripada aset yang
menghasilkan cash-flow pada masa yang lalu. Pengamatan kesepakatan umum ini
adalah sangat valid, tetapi ini tidak perlu mendiskonto cash-flow dengan
discount factor. Seseorang dapat membandingkan tingkat return akuntansi dari
dua proposal investasi dan jika dua proposal tersebut sama, kemudian yang
satunya mampu memberikan cash-flow yang lebih tinggi pada waktu yang dipilih.
Tetapi jika tingkat return tidak sama, pada umumnya, proposal yang memberikan
cash-flow yang lebih tinggi akan digunakan, kecuali jika seseorang itu
mengharapkan bahwa dalam kasus tingkat return yang lebih tinggi, cash-flow yang
diterima lebih dahulu saat ini akan menjadi cocok untuk diinvestasikan kembali dan
tingkat return kumulatifnya akan lebih tinggi (Ghazali, et.al (eds), 1992, pp.
127-143). Tetapi kembali bahwa hal ini tidak perlu suatu discounting.
Kesulitan-kesulitas Praktis dalam Penerapan Konsep Konsep
yang seperti diterapkan dalam akuntansi dan ekonomi konvensional adalah penuh
dengan judgement nilai yang subyektif dan bauran estimasi. Jika kita ingin
keluar dari hal-hal yang bersifat matematis, tetap ada sedikit justifikasi yang
berhubungan dengan konsep ini untuk diterapkan secara rasional. Beberapa
kesulitan dalam penerapannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk
teknik nilai waktu uang (time value of money, disingkat TVM)ini harus
diterapkan, kecuali untuk cash-flow yang pertama, yang menunjukkan tanda negatif,
semua subsekuen arus kas masuk (masa yang akan datang) harus menjadi positif.
Jika ini tidak, mungkin tidak ada tingkat (bunga) yang unik sehingga akan
mendiskon flow back kembali ke investasi semula
2. TVM
berasumsi bahwa discounting factor harus positif (Gambling & Karim, 1991,
p. 96). Ini juga merupakan asumsi yang tidak riil. Pada saat inflasi tinggi,
discount factor (seperti: tingkat bunga) dapat menjadi negatif. Lebih-lebih,
seperti yang dibicarakan di atas, tidak benar dengan menganggap bahwa nilai
uang sekarang selalu lebih besar dibanding pada masa yang akan datang. Ini
semua tergantung pada pribadi masing-masing, lingkungannya, kemungkinan masa
depan dan risiko yang ada pada masa depan.
3. TVM
mengasumsikan bahwa ada pasar yang efisien untuk cashflow pada masa yang akan
datang. Ini berarti bahwa apakah cashflow akan dihasilkan pada masa yang akan
datang, ini akan diinvestasikan secara menguntungkan dan bahwa ada pasar yang pasti
seperti ini. Singkatnya, ini hanya sebatas pikiran harapan saja.
4. Konsep
nilai waktu uang beranggapan bahwa “perusahaan mampu melakukan ekspansi yang
tak terbatas pada masa yang akan datang tanpa invalidating model. Sebagai
contoh, seorang pengemis menjual korek api di perempatan jalan dengan berharap modalnya
kembali, tetapi ia tetap saja menjadi orang miskin yang tidak bahagia (Gambling
& Karim, , 1991, p. 96).
5. Tidak
ada dasar obyektif untuk “pengubahan harapan mengenai aliran kas pada masa yang
akan datang kedalam nilai itu sendiri atau ekuivalen tertentu tanpa mengetahui
preferensi risiko pengguna informasi; maka penyesuaian yang menggunakan
discount rate yang subyektif secara konseptual adalah tidak cocok (Hendriksen, 1990,
p. 148).
6. TVM
hanya menerapkan faktor waktu dan aliran kas yang diharapkan. Maka semua faktor
ekonomi, teknologi, politik dan sosial lainnya adalah diabaikan. Sebagaimana
diketahui, bahwa profitabilitas aset atau bisnis adalah tergantung pada faktor
yang komplek. Oleh karena itu, analisis yang didasarkan pada dua faktor ini
tidak reliabel.
7. TVM
tidak cocok untuk akuntabilitas manajemen. Karena metode ini tidak menjadi
jelas, apakah pendapatan yang diharapkan melalui metode ini menunjuk pada upaya
manajemen atau beberapa faktor lainnya.
8. Saat
discounting untuk masa depan, hal ini sering kali lupa bahwa perusahaan itu
telah berada pada masa lalu dan sekarang. Kejadian masa lalu dan lingkungan
saat ini secara keseluruhan diabaikan, walaupun pada saatnya faktor itu adalah
relevan.
9. Tujuan
TVM ini adalah mengestimasi pendapatan perusahaan, yang merupakan hasil dari kejadian
pada masa yang lalu. Tetapi tidak menggunakan data masa yang lalu untuk
mengestimasikannya, namun malah menggunakan informasi untuk memprediksikannya sendiri
mengenai masa depan. Juga, TVM ini tidak memberikan suatu kriteria penilaian
prediksi yang dibuat oleh manajemen (Hendriksen, 1990, p. 149).
10. Dalam
kehidupan riil, yang namanya ketidak pastian adalah terjadi, harapan merupakan
cerminan dari mood seseorang yang membuat estimasi, yang sangat dipengaruhi
oleh optimisme dan pesimismenya. Bagi manusia adalah sulit unruk melihat ke
depan mengenai masa depan secara realistik.
11. Aliran
kas yang diharapkan di masa depan adalah disesuaikan untuk ketidakpastian
dengan menggunakan probabilitas realisasinya. Tetapi probabilitas ini adalah
subyektif. Biasanya tidak ada dasar untuknya. Hal serupa adalah kasus
penyesuaian yang dibuat dengan discount rate atas preferensi risiko. Mereka
berpersepsi manajemen atau akuntan dan mereka adalah sangat subyektif.
12. Produktivitas
aset sering tergantung pada kombinasinya dengan aset lain atau aktivitas
manusia itu sendiri. Dalam prakteknya, hal ini menjadi amat sulit untuk
mengestimasikan aliran kas yang muncul dari salah satu aset tertentu.
Inilah kesulitan-kesulitan praktis dalam menggunakan
metode TVM. Penulis mengerti bahwa metode discounted cash flow adalah didasarkan
pada konsep nilai waktu uang, yang seringkali digunakan sebagai legitimasi
bunga. Bahkan ketika tingkat bunga tidak digunakan sebagai discounting factor,
penerimaan konsep nilai waktu uang akan membenarkan bunga sebagai konsep yang
beralasan dan rasional.
Penulis berfikir konsep ini memiliki kesulitan
rasional. Konsep ini juga melanggar syari’ah yang melarang adanya bunga. Current
Cash Equivalent (CCE) Pertanyaan utama yang muncul pada sub bagian artikel ini adalah:
metode penilaian aset apa yang paling cocok dalam kerangka Islam? Penulis
berpendapat bahwa syari’ah Islam memberikan dukungan terhadap sistem penilaian
yang baik untuk semua tujuan atau pihak, apakah pihak pemegang saham,
pemerintah, investor maupunmasyarakat umum. Konsep ini memang berbeda dalam hal
pembagian laba kepada pemegang saham dan pendapatan pajak bagi pemerintah seperti
halnya yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis. Akan
tetapi, penulis percaya bahwa akuntan dalam masyarakat Islam merupakan salah
satu sosok yang baik. Karena dasar inilah maka perusahaan dalam masyarakat
memiliki peran sosial yang baik juga.
Salah satu tujuan utama akuntansi dalam masyarakat
Islam adalah membantu masing-masing individu menentukan kewajibannya atas zakat
dan mengeluarkannya. Dengan demikian, akuntan akan menjadi seseorang yang baik
secara individu maupun secara pemerintahan. Jadi, penulis berpendapat, hal ini
merupakan hal yang sangat fair untuk menerima dasar yang sama dalam menilai
aset dengan dasar perhitungan zakat. Zakat adalah pajak kekayaan, akan tetapi
dalam hal tertentu zakat juga merupakan pengeluaran atas pendapatan, seperti
dalam pertanian atau pendapatan sewa. Untuk menghitung zakat atas aset (atau
kekayaan), disetujui dengan menggunakan dasar net realizable value (Muhammad,
2002: 132 dan Qardhawi, n.d. p. 191). Namun ini juga masih merupakan pandangan
yang terbatas, sebab dalam kasus mengenai aset ini aset tersebut tidak berarti
untuk dijual, hukum zakat tidak banyak memberikan panduan. Selanjutnya, kami
menemukan saran yang amat tepat untuk digunakan, yaitu sebagaimana yang disarankan
oleh Gambling dan Karim (1991). Mereka menganjurkan bahwa metode penilaian yang
diajukan oleh Chambers adalah yang sangat tepat untuk menilai aset dalam
kerangka Islam (Chambers, 1966).
Metode yang dimaksud adalah yang dikenal dengan
CurrentCash Equivalent. Metode ini menyatakan bahwa aset perusahaan akan dievaluasi
menurut “the cash or generalized purchasing power that could be obtained by
selling each asset under conditions of orderly liquidation, which may be
measured by quoted market prices for goods of a similar kind and condition
(Hendriksen, 1990, p. 262.). Metode ini menolak harga pada masa lalu, sebab ia
tidak relevan untuk kegiatan(actions) masa yang akan datang. Pada saat yang
sama kejadian tersebut tidak dapat diterima sebagai dasar yang valid untuk
cashflows di masa yang akan datang, sebab data-datanya sangat subyektif. Walaupun,
metode ini mencoba menentukan current cash equivalent dalam pasar kontemporer.
Chambers berpandangan bahwa kemungkinan untuk menentukan nilai pasar untuk
jenis-jenis aset. Tetapi, jika tidak mungkin dilakukan, maka aset akan
valueless dan tidak akan muncul dalam laporan keuangan. Metode ini memiliki
beberapa perbedaan dengan metode-metode yang lain dalam penilaian, yaitu:
1. CCE
(Current Cash Equivalent) ini melukiskan situasi kehidupan nyata bagi akuntan.
Nilai neraca yang ditutup adalah sama dengan neraca yang terjadi saat ini.
2. CCE
ini meminimkan unsur subyektif dalam penilaian asset.
3. Membenarkan
konsep teori proprietary dan konsep Islam dalam perhitungan zakat, metode ini
menekankan posisi kekayaan yang dinilai daripada penerimaan dan biaya. Metode
ini menentukan laba dengan menilai asset dan kewajiban dan tidak hanya mematch-
kan penerimaan dengan biaya, yang melibatkan asumsiasumsi subyektif mengenai
alokasi biaya dan rekognisi penerimaan.
4. Hal
yang sangat penting dari sudut pandang Islam, adalah bahwa metode ini diadopsi
sebagai dasar penilaian yang baik untuk menghitung zakat. Kita tidak haus
menyiapkan seperangkat [aturan] akuntansi untuk maksud ini.
5. CCE
ini tidak melepaskan kebutuhan akan akuntansi inflasi, yang menimbulkan bebeapa
kontroversi dalam profesi akuntansi. Nilai atas asset yang dinilai adalah berdasarkan
pada nilai pasar, yang memasukkan efek inflasi, jika ada. Akan tetapi metode
ini memiliki satu keterbatasan yang serius, yaitu metode ini mengeluarkan asset
yang tidak memiliki nilai pasar, asset yang tidak berwujud atau sarana khusus
yang non-vendible, walaupun Chambers menyarankan suatu jalan keluar atas
kesulitan ini dengan mengajukan beberapa penyesuaian (Hendriksen, 1990, p.
263). Penulis sedang melakukan penelitian yang diperlukan untuk memperbaiki konsep
ini dalam kerangka Islam. Akan tetapi sampai saat ini apa yang disampaikan oleh
Chambers adalah yang paling tepat untuk tujuan syari’ah.
Assumsi “Going Concern” dan Conservatism Dua asumsi
penting dalam akuntansi konvensional adalah:
Going Concern dan Conservatism. Asumsi yang pertama
berarti bahwa asset dinilai dengan asumsi bahwa perusahaan akan terus
berlangsung pada periode yang tidak terbatas; oleh karena itu, the values taken
are not the value which the assets or liabilities will fetch in the market on
the balance sheet date. Asumsi demikian ini menurut Bhattacharya dikatakan, bahwa
“this assumption makes the life of accountants easier, since otherwise, they
will have to enquire into the market price of each asset on the balance sheet
date” (Bhattacharya, 1992, p. 27). Oleh karena itu, jika kita memilih atau
mengadopsi metode Current Cash Equivalent untuk penilaian asset maka asumsi
going concern tidak diperlukan lagi. Asumsi concervatism berarti bahwa if there
is a possibility of any loss it must be provided for, whereas if there is a
doubt about any income, it must not be include in the profit (Bhattacharya,
1992, p. 10). Kaidah ini adalah sah sepanjang digunakan untuk menjelaskan
kondisi historical cost. Sekalilagi, jika kita mengadopsi metode Current Cash
Equivalent untuk penilaian asset maka asumsi going concern tidak diperlukan
lagi. Maka yang tepat adalah menggunakan nilai pasar, apakah kita akan
mengarahkan pada kerugian atau untung. Implikasinya, kita dapat mengatakan
bahwa konsep last-in-first-out (LIFO), adalah yang dianjurkan untuk digunakan
dalam mengevaluasi persediaan pada kondisi yang paling rendah pada saat terjadi
inflasi,atau provisi untuk hutang yang diragukan, mungkin harus diabaikan (El- Shaker,
1987, p. 50). Dengan demikian jelas, bahwa jika kita menggunakan metode Current
Cash Equivalent untuk penilaian asset maka dua asumsi tersebut tidak akan
digunakan.
BAB III
SIMPULAN
Munculnya
lembaga atau perusahaan yang berbasis syari’ah, secara langsung menuntut adanya
perangkat akuntansi perusahaan yang berdasarkan syari’ah. Hingga saat ini
akuntansi syari’ah masih mencari bentuk. Meskipun begitu, apa yang dilakukan
oleh Iwan Triyuwono telah membuka wacana dan upaya merancang bentuk akuntansi
syari’ah dengan metafora zakat. Hal inilah, yang penulis kira paling cocok.
Karena Islam selalu mengedepankan zakat dan bagi hasil sebagai pilar dan tujuan
akhir ekonomi. Masih quo-vadisnya bentuk akuntansi syari’ah dan telah
beroperasinya bisnis berbasis syari’ah tentunya akan menuntut adanya praktek
akuntansi yang dapat mengkover persoalan-persoalan ekonomi dan akuntansi yang
sesuai dengan syari’ah, termasuk aspek penilaian aset dalam akuntansi syari’ah.
Untuk mencapai hal tersebut, maka kita tidak dapat menafikan keberadaan
akuntansi konvensional. Karena ada beberapa aspek yang masih dapat digunakan
untuk kerja akuntansi syari’ah. Selama belum ditemukan bentuk dan cara yang
sesungguhnya sesuai dengan ketentuan syari’ah. Sehingga, tawaran untuk menggunakan
current cash equivalent merupakan jawaban sementara yang perlu dipertimbangkan
dalam penilaian aset menurut akuntansi syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, 2002, Jurnal Akuntansi Syari’ah, Jakarta: pdf
Muhammad SE. MM.,2002,Modul Akuntansi Syariah: ppt
No comments:
Post a Comment