Wednesday 10 September 2014

PENILAIAN ASSET DALAM AKUNTANSI EKONOMI SYARI’AH



MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PENILAIAN ASSET DALAM AKUNTANSI EKONOMI SYARI’AH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen pengampu Syukri Fathudin







Disusun oleh:
Habibie Bagus Sambada         ( 12803244018 )

PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Belakangan ini ada suatu peningkatan kepentingan terhadap kajian bidang akuntansi menuju akuntansi dalam perspektif Islami atau akuntansi syari’ah. Salah satu aspek yang mendorongnya adalah dengan munculnya sistem perbankan syari’ah. Di pihak lain, aspek-aspek akuntansi konvensional tidak dapat diterapkan pada lembaga yang menggunakan prinsip-prinsip Islam, baik dari implikasi akuntansi maupun akibat ekonomi. Oleh karena itu, perlu adanya standar akuntansi yang cocok bagi bank syari’ah. Hal ini juga didorong oleh kebutuhan akan rasionalitas kerangka konseptual pelaporan keuangan bank syari'ah.
Beberapa isu lain yang mendorong munculnya akuntansi syari’ah adalah masalah harmonisasi standar akuntansi internasional di negara-negara Islam, usulan pemformatan laporan badan usaha Islami dan kajian ulang filsafat tentang konstruksi etika dalam pengetahuan akuntansi serta penggunaan syari’ah sebagai petunjuk dalam pengembangan teori akuntansi sampai pada masalah penilaian (aset) dalam akuntansi.
Suatu kajian ulang mengenai literatur akuntansi syari’ah menyoroti beberapa kelemahan yang ada, diantaranya berkaitan dengan beberapa hal yang nampak dalam perbankan syari’ah.1 Namun ini gagal untuk mengenal hambatan politik dan ekonomi yang ada dalam pengembangan akuntansi syari’ah. Di samping itu mengabaikan pembahasan tentang peranan akuntansi dari perspektif Islam baik pada tataran mikro maupun makro. Selanjutnya, dan mungkin merupakan hal yang sangat penting, adalah bahwa dalam pengembangan kerangka konseptual yang "koheren" untuk akuntansi syari’ah merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, termasuk masalah penilaian aset dalam akuntansi syari’ah. Oleh karena itu, artikel ini memberikan argumentasi bahwa penyesuaian dan modifikasi akuntansi konvensional yang didasarkan pada nilai-nilai Barat, yang tidak cocok dengan nilai Islam, perlu dibangun kerangka konseptual akuntansi syari’ah jika akuntansi tersebut dapat diterima sebagai suatu paradigma baru dalam bidang akuntansi. Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, maka tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis aspek-aspek yang tidak tepat dalam mekanisme penilaian aset dalam akuntansi konvensional, kemudian dibangun mekanisme penilaian aset yang sesuai dengan kerangka akuntansi syari’ah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa akuntansi syari’ah dan bagaimana aspek kekiniannya ?
2.      Bagaimana syari’ah sebagai paradigma akuntansi ?
3.      Bagaimana konsep penilaian asset dalam akuntansi syari’ah ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian akuntansi syari’ah dan aspek kekiniannya.
2.      Mengetahui syari’ah sebagai paradikma akuntansi.
3.      Mengetahui konsep-konsep penilaian asset akuntansi syari’ah.


























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Akuntansi Syari’ah (Akuntansi Islam)
Akutansi Islam atau Akutansi Syariah pada hakekatnya adalah penggunaan akutansi dalam menjalankan syariah Islam. Shahata (Harahap, 1997:272) misalnya mendefinisikan Akutansi Islam sebagai berikut:“ Standar, penjelasan dan prinsip akutansi yang menggambarkan semua hal, sehingga akutansi Islam secara teoritis memiliki konsep, prinsip, dan tujuan Islam juga. Semua ini secara serentak berjalan bersama bidang ekonomi, social, politik, idiologi, etika, kehidupan, keadilan dan hukum Islam. Akutansi dan bidang lain itu adalah satu paket dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain,.”
Akuntansi Islam dam konteks kekinian diartikan sebagai akuntansi dalam perspektif Islam yang mampu menjawab bagaimana seharusnya profil akuntansi Islam dalam situasi saat ini dimana system ekonomi, politik, ideology, hukum dan etika masih didominasi system lain yaitu system kapitalis yang dasar filosofinya berbeda bahkan bertolak belakang dengan system nilai Islam.
Akutansi Islam terpaksa mengadopsi berbagai jargon kapitalis tetapi secara pelan pelan tapi pasti dikonversi dengan teknik dan prinsip nilai Islam sibisanya sesuai konteksnya.
Dalam konteks kekinian respons kita terhadap ASE adalah menerima dan mendorongnya untuk diterapkan sehingga pada suatu saat disadari keterbatasan akuntansi kapitalis ini dan pada akhirnya kita menerapkan Akuntansi Islam secara Kaffah atau secara menyeluruh dan terpadu.
B.     Syari’ah sebagai paradikma akuntansi
Akuntansi adalah suatu kejadian yang tidak hanya statis. Akuntansi berkembang mengikuti pola evolusi masyarakat. Sebagaimana yang pernah terjadi, yaitu berkembang dari penyatuan aspek agama menuju pada upaya pemisahan agama dengan masalah ekonomi, maka akhirnya terjadi perubahan dari agama menuju kepada ekonomi murni, dan akhirnya berkembang lagi dari ekonomi murni menuju kepada sosio-ekonomi. Ada enam paradigma yang telah bertarung dalam bidang ekonomi. Keenam paradigma itu adalah :
1.      Paradigma antropologi/deduktif,
2.      Paradigma kebenaran pendapatan/deductive,
3.      Paradigma agregat-pasar-perilaku,
4.      Paradigma keputusan-model,
5.      Paradigma individual-pengguna,
6.      Paradigma ekonomi/informasi
Dengan menggunakan teori filsafat dan sosial, Burrell dan Morgan (1979), menjelaskan empat perbedaan paradigma secara sosiologi dalam bidang akuntansi, keempat paradigma itu adalah: fungsionalis, interpretatif, humanis radikal, dan strukturalis radikal (Burrell. dan Morgan, 1979). Sementara, ahli lain melakukan klasifikasi ulang model akuntansi berdasarkan pada suatu perspektif sistem, yaitu : model yang berorientasi pada data, kegunaan keputusan, dan kategori sumber organisasional, dimana akuntansi keuangan nampaknya sebagai data yang dikumpulkan dari suatu organisasi dan mengubahnya menjadi laporan informasi tertentu yang sesuai dengan lingkungan. Velayutham dan Rahman (1992) menggunakan matrik multidimensional dalam mengklasifikasikan teori akuntansi, yaitu:
1.      Tujuan akuntansi (deskriptif/normatif)
2.      Pendekatan dalam formulasi teori (deduktif, induktif dan eklektif)
3.      Asumsi-asumsi dasar (ekonomi, sosiologi, etika, perilaku manusia, komunikasi)
4.      Tingkat pengembangan teori akuntansi
Masing-masing paradigma yang dijelaskan di atas menentukan cara anggota memandang penelitian, praktek dan pendidikan akuntansi. Tidak ada paradigma yang lebih unggul satu dibanding dengan yang lainnya. Dengan kata lain, keberadaan paradigma tersebut didasarkan pada pengembangan dan inteprestasi pemikiran manusia dalam mengkonstruksi pengetahuan akuntansi. Berdasarkan definisi paradigma yang dikemukakan Kuhn (1970), paradigma baru dapat dikembangkan yaitu paradigma akuntansi syari’ah yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan masyarakat Muslim (Arief, 1985). Secara nyata dasar-dasar paradigma syar’ah dapat divisualisasikan pada bagan halaman berikut:

                                                                        Qias    
Qur`an            Hadist             Fiqh                Ijtihad
Ijma



        Syari`ah


Tujuan :
1.      Menetapkan keadilan social (al-`adl dan al-ihsan)
2.      Merealisasikan keuntungan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat (al-falah)
 


Etika/Moralitas
Iman
Takwa
Kebenaran
Ibadah
Kewajiban
Ikhtiyar
Hubungan dengan Allah
Hubungan dengan sesama Manusia
Berkah


 



Politik:
Musyawarah
Tanggungjawab
ganda
Ekonomi :
Halal
Bebas bunga
Zakat
Sosial :
Maslahah
Amanah


Paradigma di atas menunjukkan bahwa syari’ah diturunkan dari tiga sumber, yaitu: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Sumber-sumber tersebut urut secara hirarkhi tidak dapat mendahului satu terhadap yang lainnya. Sumber yang pertama adalah selalu Al-Qur’an, kemudian diikuti oleh Hadist, kemudian Fiqh dan seterusnya. Tujuan utama syari’ah adalah mendidik setiap manusia, memantapkan keadilan dan merealisasikan keuntungan bagi setiap manusia di dunia maupun di akhirat (Kamali. 1989). Syari’ah mengatur setiap aspek kehidupan umat Muslim, baik politik, ekonomi dan sosial dengan menjaga keyakinan, kehidupan, aqal, dan kekayaan mereka (Abdala ti,1975). Hal yang serupa juga dinyatakan oleh oleh Ibn Al-Qayim Al-Jawziyyah,bahwa basis syari’ah adalah kebijakan dan kesejahteraan masyarakat di dunia ini dan di akhirat kelak. Dengan kata lain, syari’ah adalah berkenaan dengan peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dengan menetapkan fondasi dasar bagi moral, sosial, politik dan filsafat ekonomi masyarakat tersebut.
C.    Konsep-konsep penilaian asset akuntansi syari’ah
Kembali kepada latar belakang yang telah diuraikan di atas, bahwa dengan berdasarkan konsep syari’ah dapat dihubungan dengan masalah akuntansi. Syari’ah adalah mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik, sosial dan filsafat moral. Dengan kata lain, syari’ah berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya dalam hal akuntansi. Tidak seperti paradigma yang lain, yang nampaknya memfokuskan pada peran khusus akuntansi dalam hal: kegunaan pengambilan keputusan; informasi-ekonomi dan pelaporan pendapatan secara benar, paradigma syari’ah mengenal semua perbedaan peran tersebut. Paradigma syari’ah akan memasukkan konsep pertanggungjawaban dalam bidang akuntansi, yaitu dengan paradigma antropologi/deduktif. Paradigma ini akan menggunakan dasar penilaian tunggal dalam menentukan pendapatan. Pentingnya akuntan keuangan sebagai pihak yang memberikan layanan kelengkapan informasi keuangan. Berdasarkan pada uraian sebelumnya, paradigma syari’ah nampaknya menekankan antara the extreme holistic-atomistic dan dimensi radikal-deskriptif 5 tentang teori sosiologi.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa paradigma syari’ah dalam akuntansi akan mempertimbangkan berbagai paradigma dengan menunjukkan adanya perbedaan ideologi akuntansi. Berdasarkan pijakan agama tersebut, maka ada tiga dimensi yang saling berhubungan, yaitu:
1.      Mencari keridhoan Allah sebagai tujuan utama dalam menentukan keadilan sosio-ekonomi
2.      Merealisasikan keuntungan bagi masyarakat, yaitu dengan memenuhi kewajiban kepada masyarakat
3.      Mengejar kepentingan-pribadi, yaitu: memenuhi kebutuhan sendiri
Pemenuhan ketiga bagian bentuk aktivitas ini adalah termasuk dalam ibadah. Dengan kata lain, akuntansi dapat dianggap sebagai suatu aktivitas ibadah bagi seorang Muslim. Ketiga dimensi itu saling berhubungan untuk memenuhi kewajiban kepada Tuhan, masyarakat dan hak individu, dengan berdasarkan prinsip syari’ah yang dapat diamati. Tujuan akuntansi syari’ah akan mencapai tujuan yang lebih luas tentang keadilan sosio-ekonomi (al-falah) dan mengakui bentuk ibadah. Prinsip-prinsip ini menunjukkan pada baik aspek teknis maupun kemanusiaan yang harus diturunkan dari syari’ah. Aspek teknis dalam akuntansi syari’ah adalah menunjuk pada konstruk akuntansi yang berhubungan dengan otoritas dan pelaksanaannya. Jelasnya masalah konstruk berhubungan dengan pengukuran dan penyingkapan, prinsipprinsip sebagai berikut: zakat, bebas bunga, transaksi bisnis yang dihalakan dalam hukum Islam, harus diyakini. Penyingkapan konstruk akuntansi tersebut perlu menunjuk pada kewajiban lain apa yang digariskan syari’ah sehubungan dengan upaya pemenuhan zakat, seperti: sadaqah. Sedangkan konstruk akuntansi yang berhubungan dengan masalah otoritas dan pelaksana, didasarkan pada prinsip-prinsip seperti: taqwa, kebenaran dan pertanggungjawaban. Ini merupakan bentuk fondasi dasar yang mempengaruhi nilai-nilai akuntan Muslim dan manajer  yang juga akan dapat diamati melalui aktivitasnya.
Oleh karena, perbedaan antara akuntansi konvensional dengan akuntansi syari’ah itu tidak hanya pada batasan tujuannya saja namun juga pada prinsip-prinsip dasarnya. Sebagai contoh, bahwa kerangka konseptual pelaporan keuangan yang menggunakan paradigma syari’ah merupakan hal yang sangat unik yang diperoleh dari hukum “Langit”, bukan sekedar hukum buatan manusia, dan implikasinya adalah pada peran akuntan muslim yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Diilhami dengan pandangan dunia tentang tauhid, tidak anti laba atau anti dunia, tetapi suatu visi keberhasilan dan kegagalan yang mencakup pada dimensi waktu yang lebih luas, yaitu dunia dan akhirat.
2.      Pertanggungjawaban – tidak hanya pada pimpinan tetapi bertanggungjawab kepada Tuhan, karena manusia hanya sekedar hamba- Nya dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosio ekonomi di dunia dan diakhirat.
3.      Hubungan – membutuhkan terciptanya hubungan baik antara pimpinan tetapi juga kepada pengikut, dan juga hubungan dengan Tuhan dengan memenuhi semua kewajiban keagamannya.
4.      Motivasi – memberikan pelayanan yang terbaik dalam aktivitas akuntansinya, seperti amanah, ibadah, amal salih, yang kesemuanya ditujukan untuk mencapai kemenangan (al-falah) di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa ada perbedaanantara kerangka akuntansi konvensional dengan akuntansi syari’ah, baik dari aspek: postulat, konsep dasar, prinsip, sampai pada teknik akuntansi. Hal ini tentunya akan merembes sampai kepada mekanisme penilaian aset menurut dua sistem akuntansi tersebut, yaitu: akuntansi konvensional dengan syari’ah. Oleh karena itu, bagian ini akan menguraikan mengenai perbedaan penilaian aset menurut dua sistem akuntansi tersebut. Ukuran besar-kecilnya suatu organisasi bisnis sangat tergantung pada nilai assetnya. Dengan kata sederhana, bahwa asset perusahaan memiliki nilai yang lebih tinggi pada akhir periode dibandingkan pada awal periode, tanpa adanya tambahan modal dari pemilik. Hal ini akan menghasilkan keuntungan sehingga dapat menambah nilai aset. Akan tetapi, penilaian aset saat ini menghadapi beberapa masalah, kecuali jika situasinya amat simple, seperti jika kita menilai aset tetap. Perhitungan current assets yang akan di-covert dalam kas periode jangka pendek, yang seperti ini dapat dianggap sebagai persediaan yang dapat diterima atau dapat dijual dan juga tidak dapat pose banyak masalah. Hal seperti ini dapat ditunjukkan pada net realizable value-nya yang telah menjadi konsensus para akuntan. Tetapi penilaian fixed asset, intangible asset atau asset yang likely di-coverted menjadi cash over periode jangka panjang dari time present serval masalah penilaian. Para akuntan memiliki berbagai metode yang diusulkan, yang dapat dikategorikan menjadi tiga kategori:
1.      Exchange output values, current output prices, discounted future cash receipts or service potential, current cash equivalents cash and liquidation values
2.      Exchange input values such as historical costs, current input cost and discounted future costs
3.      Standard cost such as the lower of cost or market valuation
Penilaian asset dengan menggunakan discounted cash flow adalah didasarkan pada konsep bahwa nilai asset adalah tergantung pada kemampuannya menghasilkan cash-flow masa depan (future cash-flow). Akan tetapi, ketika masa depan adalah panjang, maka di dalamnya mengandung ketidakpastian dan pertambahan risiko, hal ini adalah penting untuk mengestimasikan present value dari stream of cash flow masa depan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendiskontoan future cash flows to the present. Pendiskontoan melibatkan tiga asumsi dasar, yaitu:
1.      the amount of net cash flows expected to be generated in each of the future years
2.      the number of years of the remaining life of the assets
3.      the appropriate discount factor
Discount factor pada kondisi yang pasti biasanya menggunakan tingkat bunga tetap yang diasumsikan sama dengan opportunity cost modal yang blocked dalam asset. Tetapi variable tingkat bunga dapat juga digunakan untuk setiap tahun. Jika diketahui, bahwa masa depan adalah tidak tentu, nilai cash-flow yang diharapkan pada masa yang akan datang adalah ditunjukkan dengan nilai probabilitas yang merupakan jumlah semua probabilitasnya. Probabilitas ini ditunjukkan dengan sangat subyektif dan the best guess dari manajemen. Dalam situasi yang tidak tentu ini, penulis membatasi appropriate rate sebagai kesubyektifan tingkat yang dipersyaratkan dari risiko yang sama atau target tingkat return.
Diantara ahli ekonomi Islam, Anas Zarqa menyarankan, bahwa discounting dapat digunakan sebagai alat penilaian proyek dengan menggunakan tingkat return yang diharapkan, sebagai discounting factor.
Sebagaimana yang akan penulis ungkapkan berikut, bahwa inovasi yang diperkenalkan oleh Anas Zarqa dalam konsep ini tidak akan banyak membantu untuk menyelesaikan kesulitan secara konseptual dan praktikal dengan kegiatan ini. Time value of money (Nilai Waktu Uang) Teknik discounted cash flow adalah didasarkan pada konsep time value of money. Konsep ini menyatakan bahwa utilitas uang saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan utilitasnya untuk uang yang sama pada waktu yang akan datang. Konsep ini juga yang sangat popular menjustifikasi bunga atas modal yang dipinjam. Menurut konsep ini, jika nilai guna uang pinjaman bagi yang dipinjamkan kepada peminjam adalah sama dengan nilai uang pada masa yang akan datang, maka pemberi pinjaman akan menambahkan bunga, sehingga nilai uang pada masa yang akan datang adalah sama dengan nilai uang pada saat ini. Sekarang ini secara konseptual merupakan suatu asumsi yang faulty. Hal ini adalah benar bahwa dalam beberapa kasus nilai guna uang saat ini dapat lebih besar daripada nilai gunanya pada masa yang akan datang.
Penerapan teknik nilai waktu uang untuk menilai aset dapat diperdebatkan, yaitu bahwa ada suatu keinginan manusia yang dipertanyakan untuk mendapatkan sumber daya sesegera mungkin pada waktu sekarang dibandingkan dengan masa yang akan datang. Oleh karena itu, aset yang menghasilkan cash-flow untuk masa yang akan datang akan menjadi lebih dapat dinilai daripada aset yang menghasilkan cash-flow pada masa yang lalu. Pengamatan kesepakatan umum ini adalah sangat valid, tetapi ini tidak perlu mendiskonto cash-flow dengan discount factor. Seseorang dapat membandingkan tingkat return akuntansi dari dua proposal investasi dan jika dua proposal tersebut sama, kemudian yang satunya mampu memberikan cash-flow yang lebih tinggi pada waktu yang dipilih. Tetapi jika tingkat return tidak sama, pada umumnya, proposal yang memberikan cash-flow yang lebih tinggi akan digunakan, kecuali jika seseorang itu mengharapkan bahwa dalam kasus tingkat return yang lebih tinggi, cash-flow yang diterima lebih dahulu saat ini akan menjadi cocok untuk diinvestasikan kembali dan tingkat return kumulatifnya akan lebih tinggi (Ghazali, et.al (eds), 1992, pp. 127-143). Tetapi kembali bahwa hal ini tidak perlu suatu discounting.
Kesulitan-kesulitas Praktis dalam Penerapan Konsep Konsep yang seperti diterapkan dalam akuntansi dan ekonomi konvensional adalah penuh dengan judgement nilai yang subyektif dan bauran estimasi. Jika kita ingin keluar dari hal-hal yang bersifat matematis, tetap ada sedikit justifikasi yang berhubungan dengan konsep ini untuk diterapkan secara rasional. Beberapa kesulitan dalam penerapannya adalah sebagai berikut:
1.      Untuk teknik nilai waktu uang (time value of money, disingkat TVM)ini harus diterapkan, kecuali untuk cash-flow yang pertama, yang menunjukkan tanda negatif, semua subsekuen arus kas masuk (masa yang akan datang) harus menjadi positif. Jika ini tidak, mungkin tidak ada tingkat (bunga) yang unik sehingga akan mendiskon flow back kembali ke investasi semula
2.      TVM berasumsi bahwa discounting factor harus positif (Gambling & Karim, 1991, p. 96). Ini juga merupakan asumsi yang tidak riil. Pada saat inflasi tinggi, discount factor (seperti: tingkat bunga) dapat menjadi negatif. Lebih-lebih, seperti yang dibicarakan di atas, tidak benar dengan menganggap bahwa nilai uang sekarang selalu lebih besar dibanding pada masa yang akan datang. Ini semua tergantung pada pribadi masing-masing, lingkungannya, kemungkinan masa depan dan risiko yang ada pada masa depan.
3.      TVM mengasumsikan bahwa ada pasar yang efisien untuk cashflow pada masa yang akan datang. Ini berarti bahwa apakah cashflow akan dihasilkan pada masa yang akan datang, ini akan diinvestasikan secara menguntungkan dan bahwa ada pasar yang pasti seperti ini. Singkatnya, ini hanya sebatas pikiran harapan saja.
4.      Konsep nilai waktu uang beranggapan bahwa “perusahaan mampu melakukan ekspansi yang tak terbatas pada masa yang akan datang tanpa invalidating model. Sebagai contoh, seorang pengemis menjual korek api di perempatan jalan dengan berharap modalnya kembali, tetapi ia tetap saja menjadi orang miskin yang tidak bahagia (Gambling & Karim, , 1991, p. 96).
5.      Tidak ada dasar obyektif untuk “pengubahan harapan mengenai aliran kas pada masa yang akan datang kedalam nilai itu sendiri atau ekuivalen tertentu tanpa mengetahui preferensi risiko pengguna informasi; maka penyesuaian yang menggunakan discount rate yang subyektif secara konseptual adalah tidak cocok (Hendriksen, 1990, p. 148).
6.      TVM hanya menerapkan faktor waktu dan aliran kas yang diharapkan. Maka semua faktor ekonomi, teknologi, politik dan sosial lainnya adalah diabaikan. Sebagaimana diketahui, bahwa profitabilitas aset atau bisnis adalah tergantung pada faktor yang komplek. Oleh karena itu, analisis yang didasarkan pada dua faktor ini tidak reliabel.
7.      TVM tidak cocok untuk akuntabilitas manajemen. Karena metode ini tidak menjadi jelas, apakah pendapatan yang diharapkan melalui metode ini menunjuk pada upaya manajemen atau beberapa faktor lainnya.
8.      Saat discounting untuk masa depan, hal ini sering kali lupa bahwa perusahaan itu telah berada pada masa lalu dan sekarang. Kejadian masa lalu dan lingkungan saat ini secara keseluruhan diabaikan, walaupun pada saatnya faktor itu adalah relevan.
9.      Tujuan TVM ini adalah mengestimasi pendapatan perusahaan, yang merupakan hasil dari kejadian pada masa yang lalu. Tetapi tidak menggunakan data masa yang lalu untuk mengestimasikannya, namun malah menggunakan informasi untuk memprediksikannya sendiri mengenai masa depan. Juga, TVM ini tidak memberikan suatu kriteria penilaian prediksi yang dibuat oleh manajemen (Hendriksen, 1990, p. 149).
10.  Dalam kehidupan riil, yang namanya ketidak pastian adalah terjadi, harapan merupakan cerminan dari mood seseorang yang membuat estimasi, yang sangat dipengaruhi oleh optimisme dan pesimismenya. Bagi manusia adalah sulit unruk melihat ke depan mengenai masa depan secara realistik.
11.  Aliran kas yang diharapkan di masa depan adalah disesuaikan untuk ketidakpastian dengan menggunakan probabilitas realisasinya. Tetapi probabilitas ini adalah subyektif. Biasanya tidak ada dasar untuknya. Hal serupa adalah kasus penyesuaian yang dibuat dengan discount rate atas preferensi risiko. Mereka berpersepsi manajemen atau akuntan dan mereka adalah sangat subyektif.
12.  Produktivitas aset sering tergantung pada kombinasinya dengan aset lain atau aktivitas manusia itu sendiri. Dalam prakteknya, hal ini menjadi amat sulit untuk mengestimasikan aliran kas yang muncul dari salah satu aset tertentu.
Inilah kesulitan-kesulitan praktis dalam menggunakan metode TVM. Penulis mengerti bahwa metode discounted cash flow adalah didasarkan pada konsep nilai waktu uang, yang seringkali digunakan sebagai legitimasi bunga. Bahkan ketika tingkat bunga tidak digunakan sebagai discounting factor, penerimaan konsep nilai waktu uang akan membenarkan bunga sebagai konsep yang beralasan dan rasional.
Penulis berfikir konsep ini memiliki kesulitan rasional. Konsep ini juga melanggar syari’ah yang melarang adanya bunga. Current Cash Equivalent (CCE) Pertanyaan utama yang muncul pada sub bagian artikel ini adalah: metode penilaian aset apa yang paling cocok dalam kerangka Islam? Penulis berpendapat bahwa syari’ah Islam memberikan dukungan terhadap sistem penilaian yang baik untuk semua tujuan atau pihak, apakah pihak pemegang saham, pemerintah, investor maupunmasyarakat umum. Konsep ini memang berbeda dalam hal pembagian laba kepada pemegang saham dan pendapatan pajak bagi pemerintah seperti halnya yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis. Akan tetapi, penulis percaya bahwa akuntan dalam masyarakat Islam merupakan salah satu sosok yang baik. Karena dasar inilah maka perusahaan dalam masyarakat memiliki peran sosial yang baik juga.
Salah satu tujuan utama akuntansi dalam masyarakat Islam adalah membantu masing-masing individu menentukan kewajibannya atas zakat dan mengeluarkannya. Dengan demikian, akuntan akan menjadi seseorang yang baik secara individu maupun secara pemerintahan. Jadi, penulis berpendapat, hal ini merupakan hal yang sangat fair untuk menerima dasar yang sama dalam menilai aset dengan dasar perhitungan zakat. Zakat adalah pajak kekayaan, akan tetapi dalam hal tertentu zakat juga merupakan pengeluaran atas pendapatan, seperti dalam pertanian atau pendapatan sewa. Untuk menghitung zakat atas aset (atau kekayaan), disetujui dengan menggunakan dasar net realizable value (Muhammad, 2002: 132 dan Qardhawi, n.d. p. 191). Namun ini juga masih merupakan pandangan yang terbatas, sebab dalam kasus mengenai aset ini aset tersebut tidak berarti untuk dijual, hukum zakat tidak banyak memberikan panduan. Selanjutnya, kami menemukan saran yang amat tepat untuk digunakan, yaitu sebagaimana yang disarankan oleh Gambling dan Karim (1991). Mereka menganjurkan bahwa metode penilaian yang diajukan oleh Chambers adalah yang sangat tepat untuk menilai aset dalam kerangka Islam (Chambers, 1966).
Metode yang dimaksud adalah yang dikenal dengan CurrentCash Equivalent. Metode ini menyatakan bahwa aset perusahaan akan dievaluasi menurut “the cash or generalized purchasing power that could be obtained by selling each asset under conditions of orderly liquidation, which may be measured by quoted market prices for goods of a similar kind and condition (Hendriksen, 1990, p. 262.). Metode ini menolak harga pada masa lalu, sebab ia tidak relevan untuk kegiatan(actions) masa yang akan datang. Pada saat yang sama kejadian tersebut tidak dapat diterima sebagai dasar yang valid untuk cashflows di masa yang akan datang, sebab data-datanya sangat subyektif. Walaupun, metode ini mencoba menentukan current cash equivalent dalam pasar kontemporer. Chambers berpandangan bahwa kemungkinan untuk menentukan nilai pasar untuk jenis-jenis aset. Tetapi, jika tidak mungkin dilakukan, maka aset akan valueless dan tidak akan muncul dalam laporan keuangan. Metode ini memiliki beberapa perbedaan dengan metode-metode yang lain dalam penilaian, yaitu:
1.      CCE (Current Cash Equivalent) ini melukiskan situasi kehidupan nyata bagi akuntan. Nilai neraca yang ditutup adalah sama dengan neraca yang terjadi saat ini.
2.      CCE ini meminimkan unsur subyektif dalam penilaian asset.
3.      Membenarkan konsep teori proprietary dan konsep Islam dalam perhitungan zakat, metode ini menekankan posisi kekayaan yang dinilai daripada penerimaan dan biaya. Metode ini menentukan laba dengan menilai asset dan kewajiban dan tidak hanya mematch- kan penerimaan dengan biaya, yang melibatkan asumsiasumsi subyektif mengenai alokasi biaya dan rekognisi penerimaan.
4.      Hal yang sangat penting dari sudut pandang Islam, adalah bahwa metode ini diadopsi sebagai dasar penilaian yang baik untuk menghitung zakat. Kita tidak haus menyiapkan seperangkat [aturan] akuntansi untuk maksud ini.
5.      CCE ini tidak melepaskan kebutuhan akan akuntansi inflasi, yang menimbulkan bebeapa kontroversi dalam profesi akuntansi. Nilai atas asset yang dinilai adalah berdasarkan pada nilai pasar, yang memasukkan efek inflasi, jika ada. Akan tetapi metode ini memiliki satu keterbatasan yang serius, yaitu metode ini mengeluarkan asset yang tidak memiliki nilai pasar, asset yang tidak berwujud atau sarana khusus yang non-vendible, walaupun Chambers menyarankan suatu jalan keluar atas kesulitan ini dengan mengajukan beberapa penyesuaian (Hendriksen, 1990, p. 263). Penulis sedang melakukan penelitian yang diperlukan untuk memperbaiki konsep ini dalam kerangka Islam. Akan tetapi sampai saat ini apa yang disampaikan oleh Chambers adalah yang paling tepat untuk tujuan syari’ah.
Assumsi “Going Concern” dan Conservatism Dua asumsi penting dalam akuntansi konvensional adalah:
Going Concern dan Conservatism. Asumsi yang pertama berarti bahwa asset dinilai dengan asumsi bahwa perusahaan akan terus berlangsung pada periode yang tidak terbatas; oleh karena itu, the values taken are not the value which the assets or liabilities will fetch in the market on the balance sheet date. Asumsi demikian ini menurut Bhattacharya dikatakan, bahwa “this assumption makes the life of accountants easier, since otherwise, they will have to enquire into the market price of each asset on the balance sheet date” (Bhattacharya, 1992, p. 27). Oleh karena itu, jika kita memilih atau mengadopsi metode Current Cash Equivalent untuk penilaian asset maka asumsi going concern tidak diperlukan lagi. Asumsi concervatism berarti bahwa if there is a possibility of any loss it must be provided for, whereas if there is a doubt about any income, it must not be include in the profit (Bhattacharya, 1992, p. 10). Kaidah ini adalah sah sepanjang digunakan untuk menjelaskan kondisi historical cost. Sekalilagi, jika kita mengadopsi metode Current Cash Equivalent untuk penilaian asset maka asumsi going concern tidak diperlukan lagi. Maka yang tepat adalah menggunakan nilai pasar, apakah kita akan mengarahkan pada kerugian atau untung. Implikasinya, kita dapat mengatakan bahwa konsep last-in-first-out (LIFO), adalah yang dianjurkan untuk digunakan dalam mengevaluasi persediaan pada kondisi yang paling rendah pada saat terjadi inflasi,atau provisi untuk hutang yang diragukan, mungkin harus diabaikan (El- Shaker, 1987, p. 50). Dengan demikian jelas, bahwa jika kita menggunakan metode Current Cash Equivalent untuk penilaian asset maka dua asumsi tersebut tidak akan digunakan.





























BAB III
SIMPULAN
Munculnya lembaga atau perusahaan yang berbasis syari’ah, secara langsung menuntut adanya perangkat akuntansi perusahaan yang berdasarkan syari’ah. Hingga saat ini akuntansi syari’ah masih mencari bentuk. Meskipun begitu, apa yang dilakukan oleh Iwan Triyuwono telah membuka wacana dan upaya merancang bentuk akuntansi syari’ah dengan metafora zakat. Hal inilah, yang penulis kira paling cocok. Karena Islam selalu mengedepankan zakat dan bagi hasil sebagai pilar dan tujuan akhir ekonomi. Masih quo-vadisnya bentuk akuntansi syari’ah dan telah beroperasinya bisnis berbasis syari’ah tentunya akan menuntut adanya praktek akuntansi yang dapat mengkover persoalan-persoalan ekonomi dan akuntansi yang sesuai dengan syari’ah, termasuk aspek penilaian aset dalam akuntansi syari’ah. Untuk mencapai hal tersebut, maka kita tidak dapat menafikan keberadaan akuntansi konvensional. Karena ada beberapa aspek yang masih dapat digunakan untuk kerja akuntansi syari’ah. Selama belum ditemukan bentuk dan cara yang sesungguhnya sesuai dengan ketentuan syari’ah. Sehingga, tawaran untuk menggunakan current cash equivalent merupakan jawaban sementara yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian aset menurut akuntansi syari’ah.










DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, 2002, Jurnal Akuntansi Syari’ah, Jakarta: pdf

Muhammad SE. MM.,2002,Modul Akuntansi Syariah: ppt





No comments:

Post a Comment